Kemendikdasmen Dorong Kemampuan Digital dan Etika Lewat Mata Pelajaran Pilihan Koding dan Kecerdasan Artifisial
![]() |
Ilustrasi siswa Sekolah Dasar (SD) belajar Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) di kelas. (pamong.id/Gemini) |
PAMONG.ID | Kanal Pendidik Indonesia - Pendidikan Indonesia memasuki babak baru. Mulai tahun ajaran 2025-2026, Kemendikdasmen akan memperkenalkan koding dan kecerdasan artifisial atau AI sebagai mata pelajaran pilihan di jenjang sekolah dasar dan menengah. Kebijakan ini bukan sekadar mengikuti tren, melainkan sebuah langkah strategis untuk membekali generasi muda dengan keterampilan esensial di tengah derasnya arus revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0.
Prita Laura, host Siniar Episode 4 Kemendikdasmen, membuka diskusi dengan menyoroti urgensi adaptasi pendidikan di era teknologi. "Perkembangan ini menuntut adanya adaptasi yang signifikan dalam sistem pendidikan nasional untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi berbagai tantangan masa depan," ujarnya.
Hadir dalam siniar ini, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, dan Master Trainer Kecerdasan Artifisial, Asep Wahyudi, mengupas tuntas visi di balik kebijakan ini.
AI dan Koding: Pisau Bermata Dua
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, yang akrab disapa Mas Wamen, memulai penjelasannya dengan analogi yang menarik: teknologi, khususnya AI, adalah seperti pisau.
"Pisau ini kan bisa bermanfaat kalau digunakan secara tepat dan di tangan orang yang tepat. Tetapi sebaliknya, pisau ini bisa melukai, bahkan bisa menimbulkan persoalan jika jatuh pada orang yang tidak tepat dan dengan niat yang tidak tepat," jelas Mas Wamen.
Ia menekankan bahwa generasi saat ini, yang dikenal sebagai digital native, tumbuh di tengah dunia digital yang berkembang pesat. Oleh karena itu, mengenalkan koding dan kecerdasan artifisial sejak dini ibarat mengajarkan cara menggunakan pisau: memahami fungsinya, kapan harus digunakan, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tujuan utama bukanlah semata-mata mencetak programmer, melainkan membekali anak-anak dengan literasi digital dan literasi AI, serta yang tak kalah penting, etika dalam penggunaannya.
Mas Wamen juga merujuk pada konsep kewargaan digital (digital citizenship) yang diusung oleh Mike Ribble pada tahun 2015. Ada tiga nilai dasar yang harus ditanamkan:
- Penggunaan teknologi digital secara aman: Menghindari masalah dan bahaya yang mungkin timbul.
- Penggunaan secara etis: Mempertimbangkan kepantasan dan kelayakan dalam berinteraksi di dunia maya.
- Penggunaan secara bertanggung jawab: Menyadari konsekuensi dari setiap tindakan digital.
"Intinya kita itu ingin mengajari kepada mereka bagaimana menjadi warga negara yang beradab," tegas Mas Wamen.
Pendidikan ini diharapkan membentuk anak-anak menjadi warga negara yang sadar hukum dunia daring, bertanggung jawab, etis, dan aman saat berinteraksi di dunia maya.
Pendekatan Fleksibel dan Inklusif
Pelajaran koding dan kecerdasan artifisial akan menjadi mata pelajaran pilihan, bukan wajib, untuk tahap awal. Kebijakan ini mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di masing-masing sekolah. "Kita akan mulai mengenalkan mata pelajaran ini sejak tahun ajaran baru ini sebagai mata pelajaran pilihan mulai kelas 5 SD, SMP, dan juga SMA," terang Mas Wamen.
Pendekatan pembelajaran juga bersifat fleksibel:
- Mata pelajaran terpisah: Diajarkan sebagai subjek mandiri.
- Ekstrakurikuler: Diintegrasikan dalam kegiatan di luar jam pelajaran.
- Tematik integratif: Disisipkan dalam mata pelajaran lain secara tematik.
Fleksibilitas ini ditujukan untuk menyesuaikan dengan kondisi sarana prasarana dan SDM di sekolah. Kendati ada kekhawatiran mengenai potensi ketimpangan digital, Mas Wamen menegaskan bahwa semangat "pendidikan bermutu untuk semua" tetap menjadi prioritas.
"Kebijakan ini juga semangatnya ke sana. Maka sementara kita sifatnya masih pelajaran pilihan, tidak wajib," katanya.
Pemerintah juga berupaya mengatasi keterbatasan SDM guru dengan melakukan upskilling dan pelatihan bagi guru-guru informatika atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kerjasama dengan lembaga lain seperti PLN dan Komdigi juga terus dilakukan untuk meningkatkan akses dan infrastruktur.
Peran Guru dan Tantangan Literasi
Master Trainer Kecerdasan Artifisial, Asep Wahyudi, menambahkan urgensi pembelajaran ini. Ia menekankan bahwa teknologi, terutama AI, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
"Sangat bijak jika kemudian kementerian kita, negara kita melalui kementerian itu membuat pembelajaran seperti koding dan KA informatika sebelumnya itu lebih baik justru menyampaikan terkait teknologi secara prompt lewat guru dibanding kemudian mereka belajar sendiri," ujar Asep.
Meskipun anak-anak adalah native digital yang eksploratif, bimbingan tetap diperlukan. Asep khawatir jika anak-anak terlalu bergantung pada AI tanpa pemahaman yang benar, mereka bisa salah menukil informasi.
"Bahaya, karena belum tentu benar," tegasnya, menyoroti kasus di mana anak-anak bahkan menjadikan ChatGPT sebagai psikolog.
Pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial juga akan mencakup materi tentang ekosistem periksa data. Tujuannya adalah agar anak-anak tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga memahami proses di baliknya, sehingga mereka bisa bersikap bijaksana dalam menerima dan mengolah informasi. Ini sejalan dengan konsep citizen wellbeing: hidup seimbang di dunia nyata dan maya dengan perangkat digital.
Terkait tantangan literasi dasar yang masih menjadi PR besar di Indonesia, Mas Wamen menjelaskan bahwa pemerintah sedang mengerjakan dua hal secara paralel: memperkuat literasi dasar dan memperkuat literasi digital.
"Karena kalau hanya dikerjakan salah satu pada konteks sekarang itu akan menimbulkan ketertinggalan," jelasnya.
Asep Wahyudi sepakat. Mengacu pada OECD Learning Compass 2030, literasi digital adalah bagian dari pilar kognitif, sejajar dengan literasi dan numerasi. "Justru literasi digital itu akan sangat kemudian bisa direalisasikan dengan mata pelajaran seperti ini," ungkapnya.
Membangun Generasi Emas yang Berkarakter
Visi besar Kemendikdasmen adalah mencetak generasi emas 2045 yang memiliki kompetensi tinggi, daya saing unggul, peka terhadap perkembangan digital, dan memiliki karakter kuat. Mas Wamen menyebutkan bahwa penguatan pendidikan karakter, yang diwakili oleh delapan profil lulusan (beriman, bertakwa, berpikir kritis, kemandirian, komunikasi, kolaborasi), adalah prioritas utama.
Pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial juga bertujuan membentuk pembelajar sepanjang hayat (fast learner) yang cepat beradaptasi. Kemampuan di bidang STEM (Sains, Teknologi, Matematika) juga menjadi fokus untuk menjadikan bangsa yang kompetitif.
"Satu hal yang enggak bisa digantikan oleh KA adalah kesadaran membangun empati," kata Mas Wamen.
Mesin pintar, tetapi tidak punya rasa. Oleh karena itu, penting untuk membangun empati dan etika pada anak-anak. Pendidikan ini diharapkan melahirkan anak-anak yang bijak dalam menggunakan teknologi, yang memahami batasan etika AI, dan tidak sepenuhnya bergantung pada informasi yang disajikan AI yang mungkin bias atau tidak akurat.
Kritis, rasa ingin tahu (curiosity), dan kemampuan untuk mempertanyakan adalah pondasi penting. "Menjauhi KA 100% saya pikir itu bukan solusi. Tetapi tergantung dengan KA 100% itu juga akan membutakan kita," pungkas Mas Wamen.
Intinya, AI adalah alat, dan manusia harus menjadi pengendali yang bijak, bukan budak teknologi.***
0Komentar