TpM8TpY5GSM5BSA5TpzoGUYlTi==

Slider

Transformasi Evaluasi Pendidikan: Mengganti Ujian Nasional dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA)

Kemendikdasmen luncurkan TKA sebagai pengganti UN, fokus pada pemetaan kemampuan individu dan peningkatan kualitas pendidikan nasional, bukan penentu kelulusan.

Ilustrasi siswa mengerjakan Tes Kemampuan Akademik (TKA). (pamong.id/Gemini)
Ilustrasi siswa mengerjakan Tes Kemampuan Akademik (TKA). (pamong.id/Gemini)

PAMONG.ID | Kanal Pendidik Indonesia - Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia kembali mengalami transformasi signifikan dengan diluncurkannya Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) mulai November mendatang. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan pergeseran filosofi dan substansi dalam mengukur capaian belajar siswa. 


Dalam siniar episode kedua yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Atip Latiful Hayat dan pemerhati pendidikan Doni Koesoema membedah tuntas seluk-beluk TKA, menegaskan komitmen pemerintah untuk menciptakan evaluasi yang lebih akuntabel, inovatif, dan responsif terhadap kebutuhan pendidikan abad ke-21.


Mengapa TKA Menggantikan UN? Sejarah dan Refleksi Kritis


Prof. Atip Latiful Hayat menjelaskan bahwa evaluasi berskala nasional telah ada sejak lama, mulai dari "ujian penghabisan" hingga Ujian Nasional. Namun, UN memiliki karakteristik krusial sebagai penentu kelulusan, yang kerap menimbulkan drama, trauma, dan praktik tidak sehat. 


"Karena dia (UN) penentu kelulusan, ada drama-drama yang mencekam ketika ikut Ujian Nasional," ujar Prof. Atip. Fokus pada mata pelajaran tertentu juga mendorong pragmatisme siswa, cenderung latihan soal, dan bahkan memunculkan praktik kecurangan seperti "tim sukses" pembocor soal.


Berangkat dari evaluasi mendalam terhadap dampak negatif UN, Kemendikdasmen menghadirkan TKA dengan substansi yang berbeda. Pertama, TKA bukan penentu kelulusan. Kelulusan sepenuhnya menjadi kewenangan satuan pendidikan. Kedua, TKA tidak bersifat wajib, namun memiliki posisi penting sebagai syarat untuk jenjang pendidikan berikutnya, seperti masuk perguruan tinggi atau SMP ke SMA. 


"Ibaratnya kalau saya ingin sekolah di Harvard yang mensyaratkan SAT 8,5, itu kan tidak wajib, tapi bagi saya menjadi wajib," jelas Prof. Atip, menganalogikan TKA sebagai alat ukur kemampuan akademik individual yang transparan.


Struktur dan Mata Pelajaran TKA: Fokus pada Kompetensi Esensial


Berbeda dengan UN yang mengujikan beragam mata pelajaran, TKA dirancang lebih fokus. Untuk tingkat SD, TKA hanya menguji Bahasa Indonesia dan Matematika. Demikian pula untuk SMP. Sementara untuk SMA, TKA menguji Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan dua mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan peminatan atau jurusan siswa (misalnya, Matematika Lanjut, Biologi, Fisika untuk IPA, atau Antropologi untuk Sosial).


Prof. Atip menegaskan bahwa pemilihan mata pelajaran ini bertujuan untuk memperlihatkan kemampuan akademik esensial siswa. "Penentuan mata pelajaran untuk TKA itu sesuai dengan tujuannya ya, untuk memperlihatkan kemampuan akademiknya," katanya. TKA juga diharapkan menjadi instrumen Kemendikdasmen dalam memetakan pendidikan nasional dan meningkatkan skor PISA Indonesia yang masih memprihatinkan dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.


Apresiasi dan Tantangan dari Pemerhati Pendidikan


Doni Koesoema menyambut baik kebijakan TKA. Menurutnya, ini adalah langkah yang mengembalikan sistem pendidikan pada relnya. "Kebijakan ini patut diapresiasi, karena kita mengembalikan sistem pendidikan itu pada relnya karena memang sangat absurd sebuah sistem pendidikan nasional itu tidak memiliki alat ukur yang objektif untuk menilai hasil belajar peserta didik," ucap Doni. 


Ia menekankan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang menyerahkan kelulusan pada sekolah, tetapi juga mengamanatkan penilaian hasil belajar untuk ketercapaian standar nasional pendidikan.


Pemilihan Bahasa Indonesia dan Matematika sebagai mata pelajaran inti TKA dinilai tepat. Bahasa Indonesia, sebagai alat pemersatu bangsa, sangat penting untuk dikuasai guna memahami dan membahaskan realitas. Doni menyoroti bagaimana masih banyak mahasiswa kesulitan menulis skripsi dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 


Sementara itu, Matematika dianggap sebagai batu uji yang relatif tidak bias terhadap status sosial ekonomi, meminimalisir keuntungan bagi siswa dari keluarga mampu yang memiliki akses les atau kursus. Doni juga mendukung mata pelajaran pilihan di SMA yang sesuai dengan minat siswa, sejalan dengan kurikulum merdeka.


Namun, Doni juga menyoroti tantangan dalam pemerataan pendidikan. Ia mengakui bahwa TKA mungkin akan menyoroti disparitas kemampuan antar siswa dari sekolah dengan sarana prasarana dan kualitas guru yang berbeda. "Tentu ini perlu menjadi perhatian terus-menerus dari pemerintah," imbuhnya.


Membangun Pemahaman: TKA Tidak Wajib, tapi Penting


Salah satu poin krusial adalah membangun pemahaman bahwa TKA, meskipun tidak wajib, sangat penting. Prof. Atip menekankan bahwa TKA adalah bagian dari proses belajar untuk mengetahui potensi masing-masing siswa sebagai modal ke depan, serta untuk mengetahui capaian standar secara nasional sebagai bahan evaluasi kebijakan.


Doni Koesoema menambahkan bahwa setiap anak Indonesia pasti ingin mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam belajar. TKA bukan untuk gaya-gayaan atau juara, melainkan untuk melampaui batas maksimal diri. "Toh nanti ini bukan sebagai kelulusan. Kelulusan kan semua ditentukan oleh sekolah," tegas Doni, mengajak siswa untuk tidak takut dan mencoba TKA.


Implementasi TKA: Peran Pusat, Daerah, dan Integritas


TKA akan mulai dilaksanakan sekitar bulan November. Kemendikdasmen dan pemerintah daerah akan bekerja sama dalam pelaksanaannya. Soal TKA tingkat SMA sepenuhnya berasal dari pusat, sementara untuk SMP dan SD, sebagian soal dapat berasal dari daerah, memungkinkan konten bernuansa kedaerahan. Kemendikdasmen bertanggung jawab menyediakan sistem, sedangkan pemerintah daerah memastikan kesiapan sekolah dan pengawas.


Baik Prof. Atip maupun Doni Koesoema menyoroti pentingnya integritas dalam pelaksanaan TKA. Meskipun berbasis komputer, potensi kecurangan tetap ada jika ada kongkalikong antara pengawas dan siswa. "Jika tidak jujur itu terjadi, misalkan terjadi kongkalikong antara pengawas satu sekolah meskipun sudah dicampur ya antara sekolah satu dengan sekolah yang lain itu tidak akan banyak manfaatnya dan TKA pasti tidak akan berhasil," tegas Doni. Ia mengajak semua pihak, dari guru, pemerintah daerah, hingga siswa, untuk menjunjung tinggi kejujuran.


TKA sebagai Pengkonfirmasi Rapor dan Penangkal Manipulasi Nilai


Salah satu manfaat signifikan TKA adalah fungsinya sebagai pengkonfirmasi nilai rapor. Prof. Atip menyinggung fenomena "sedekah nilai" oleh guru, di mana nilai rapor kerap dimanipulasi. Ia menceritakan anekdot tentang seorang rektor yang menerima rapor siswa dengan nilai sempurna 10 semua. "Justru dengan TKA itu akan dikonfirmasi, benar enggak kalau ternyata hasil TKA-nya itu jauh sekali dengan nilai rapor," ujarnya. TKA diharapkan akan menjadi "batu uji" yang objektif, mendorong satuan pendidikan untuk mengisi rapor secara lebih jujur dan bertanggung jawab.


Doni Kusuma mengamini pandangan ini. Ia mengungkapkan bahwa penelitian menunjukkan manipulasi nilai rapor masih terjadi, bahkan setelah kurikulum merdeka yang menghilangkan KKM. "Artinya memang kita ada masalah mendasar dalam pendidikan kita. Menurut saya, kita tidak bermasalah masalah teknik mengajar, tetapi ini masalah komitmen moral dan integritas dari Bapak Ibu guru itu sendiri," kritik Doni. Ia berharap TKA dapat memicu refleksi bagi guru untuk menjadi pendidik yang berintegritas dan bertanggung jawab dalam menilai kemampuan siswa secara objektif.


Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua


TKA merupakan langkah maju dalam sistem evaluasi pendidikan. Pergeseran dari ujian yang traumatik menjadi tes yang informatif, dari hafalan ke penalaran dan berpikir kritis, mencerminkan visi untuk pendidikan bermutu untuk semua. TKA bukan hanya alat ukur, tetapi juga cerminan komitmen untuk perbaikan berkelanjutan.


"Tes itu adalah bagian dari proses belajar para siswa yang tujuannya untuk mengetahui potensi masing-masing itu sebagai modal untuk ke depannya," Prof. Atip menegaskan. Dengan TKA, siswa dapat mengenali kemampuan dirinya, dan secara nasional, pemerintah dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki. 


Doni Koesoema menambahkan, "Kalau kita mau menjadi orang yang mau belajar sepanjang hayat, tentu kita harus melewati banyak ujian...Yang jelas harus ada alat untuk mengukur sejauh mana saya maju di dalam belajar."


TKA diharapkan dapat mendorong kejujuran, akuntabilitas, dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia secara holistik.***

0Komentar

Special Ads
© Copyright - pamong.id
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.