Praktik pembelajaran mendalam dari sebuah proyek layang-layang menantang para guru untuk membebaskan diri dari belenggu format RPP dan fokus pada esensi belajar anak. Ribuan pendidik mencari jawaban.
![]() |
Praktisi PAUD, Muhammad Akkas berbagi pengelaman terkait pembelajaran mendalam dalam webinar yang digelar Hari Belajar Guru. |
PAMONG.ID | Kanal Pendidik Indonesia - LIRIK lagu itu terdengar seperti bisikan kolektif ribuan guru di seluruh negeri. “RPP sudah dibuat sangat rapi, tapi murid tak antusias mengikuti. Murid tak mau mendengar, suara guru mulai bergetar.” Sebuah keresahan yang akrab, sebuah kegagalan senyap yang sering kali tersembunyi di balik dinding kelas-kelas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang penuh warna. Di tengah formalitas administrasi yang kian menekan, pertanyaan mendasar kerap terlupakan: bagaimana cara menciptakan pembelajaran yang benar-benar hidup dan bermakna bagi anak?
Kegelisahan itulah yang mengudara dalam webinar “Pembelajaran Mendalam untuk Jenjang PAUD” yang digelar platform Hari Belajar Guru dan disiarkan langsung melalui YouTube.
Muhammad Akkas, seorang praktisi PAUD yang juga penulis konten di Kementerian Pendidikan membawakan sebuah cerita sederhana tentang layang-layang.
Proyek Layang-layang: Belajar yang Tumbuh dari Main
Saat membuka sesi, Akkas langsung melempar pertanyaan menohok kepada para audiens. “Seberapa yakin Bapak, Ibu, pembelajaran yang saat ini difasilitasi di kelas telah memberikan pengalaman pembelajaran mendalam?” Jawaban yang muncul beragam, mencerminkan spektrum kepercayaan diri dan keraguan yang luas di kalangan pendidik.
Alih-alih menyajikan teori yang muluk, Akkas mengajak peserta untuk melakukan perjalanan waktu ke kelasnya beberapa bulan lalu. Topik yang diangkat bukanlah hasil dari penanggalan kurikulum yang kaku, melainkan sesuatu yang lahir dari pengamatan murni: layang-layang.
“Kalau ditanya sekarang topik saya untuk satu tahun ke depan apa? Itu saya tidak punya jawabannya,” ujar Akkas, sebuah pernyataan yang mungkin terdengar radikal bagi sebagian guru yang terbiasa merancang topik pembelajaran setahun penuh. Di sekolahnya, topik bersifat emergen, tumbuh dari minat anak yang diamati dari hari ke hari.
Semuanya bermula pada bulan Februari. Akkas mengamati seorang anak di kelasnya yang berjumlah 11 orang, asyik membuat layang-layang dari bahan seadanya. Aktivitas itu menular. Beberapa anak lain ikut mencoba. Minat itu tidak padam bahkan setelah libur Lebaran. Saat masuk kembali di bulan April, hasrat untuk membuat layang-layang itu masih menyala. Akkas menangkap sinyal itu. Melalui diskusi kelas, disepakatilah layang-layang menjadi proyek bersama.
Langkah pertama Akkas bukanlah merancang setumpuk lembar kerja. Ia justru mencari buku cerita yang relevan—Kota Layang-layang Terbang—dan video tentang cara membuat layang-layang. Sumber daya ini menjadi pemantik diskusi. Dari obrolan bersama anak-anak, lahirlah sebuah “peta konsep” di papan tulis. “Walaupun anak belum bisa membaca, setidaknya bisa tervisualkan dan hasil diskusinya tercatatkan,” jelasnya.
Peta konsep ini adalah organisme yang hidup. Ia tumbuh dan berkembang seiring perjalanan proyek yang berlangsung hampir sebulan. Dimulai dari pertanyaan dasar “butuh apa saja?” dan “bagaimana caranya?”, peta itu kemudian bercabang ke topik turunan seperti “tempat bermain layang-layang” dan “jenis-jenis angin”.
Dari sanalah, Akkas merancang undangan bermain. Mulai dari satu kegiatan—membuat layang-layang dari lidi daun kelapa—kemudian berkembang menjadi empat sentra: kreasi layang-layang, menghitung ornamen layang-layang, mewarnai gambar, hingga merancang ekor layang-layang. Kelas yang “berantakan” menjadi pemandangan sehari-hari, namun di balik itu, sebuah proses belajar yang intens sedang terjadi. Anak-anak yang semula kesulitan mengikat simpul, setelah puluhan menit bahkan hingga 90 menit berkutat, akhirnya berhasil menciptakan karyanya sendiri.
Puncak pertama proyek ini adalah momen pembuktian: menerbangkan layang-layang. Hasilnya? Gagal. Layang-layang itu menolak mengudara. Di sinilah titik balik krusial terjadi. Kegagalan itu tidak menjadi akhir, melainkan awal dari sebuah penyelidikan baru. Dalam diskusi, anak-anak menyimpulkan penyebabnya adalah “tidak ada angin”.
Akkas tidak memberi jawaban. Ia melempar pertanyaan pemantik, “Bagaimana ya cara agar kita bisa tahu kapan ada angin?” Dari diskusi itu, muncul ide untuk membuat alat pendeteksi angin. Akkas kemudian memantik lebih jauh dengan video tentang lonceng angin. Seketika, proyek layang-layang melahirkan anak proyek baru: membuat lonceng angin. Anak-anak kembali berdiskusi, merinci bahan, dan mulai berkreasi.
Membedah Anatomi Pembelajaran Mendalam
Kisah proyek layang-layang itu lebih dari sekadar cerita aktivitas yang seru. Akkas kemudian membedahnya menggunakan kerangka kerja pembelajaran mendalam, menunjukkan bahwa apa yang terjadi di kelasnya memenuhi prinsip-prinsip kunci.
Pertama, Berkesadaran (Mindful). Ini terlihat dari fokus dan konsentrasi anak yang luar biasa. “Ada momen anak berusaha membuat layang-layang sekitar 60 sampai 90 menit,” ungkap Akkas. Anak-anak sadar mereka sedang bermain, dan dalam permainan itu mereka belajar. Mereka aktif berdiskusi dan mencari tahu, sebuah tanda keterlibatan penuh.
Kedua, Bermakna (Meaningful). Pembelajaran ini meninggalkan jejak perubahan pada anak. Keterampilan baru lahir. “Anak berhasil membuat simpul. Bayangkan satu bulan mereka latihan ngikat-ngikat, kemampuannya pasti terasah,” tuturnya. Kualitas dan kerapian layang-layang mereka membaik seiring waktu. Ada pertumbuhan yang nyata, bukan sekadar hore-hore tanpa hasil.
Ketiga, Menggembirakan (Joyful). Kegembiraan di sini bukan sekadar tawa riuh dari ice breaking. Ia adalah motivasi internal yang mendorong anak untuk terus bereksplorasi meski menghadapi kesulitan. Fakta bahwa anak-anak mau mendalami satu topik selama hampir sebulan dan sering bercerita tentang pengalaman bermain layang-layang di rumah adalah bukti sahih kegembiraan otentik itu.
Lebih jauh, Akkas mengaitkannya dengan pengalaman belajar yang harus mencakup tiga level: Memahami, Mengaplikasikan, dan Merefleksi. Ia mencontohkannya pada salah satu tujuan pembelajaran: melatih motorik halus.
Pada level Memahami, anak menunjukkan kesulitan awal saat mencoba membuat simpul. Mereka tahu tujuannya, tapi eksekusinya belum mahir. Kemudian, pada level Mengaplikasikan, anak berhasil mengikat lidi dengan simpul yang tepat dan kuat secara konsisten. Mereka telah menguasai keterampilannya. Puncaknya adalah level Merefleksi, di mana anak menggunakan keterampilan itu dalam konteks baru. “Oh, ternyata mengikat ini juga bisa saya gunakan untuk ngikat bagian bawah lonceng angin saya supaya enggak jatuh,” Akkas menirukan proses berpikir anak. Keterampilan itu menjadi miliknya dan bisa ditransfer ke masalah lain.
Format RPP: Alat Bantu, Bukan Berhala
Di penghujung presentasinya, Akkas menampilkan sebuah ‘provokasi’ intelektual. Ia menunjukkan format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) miliknya: sebuah tabel mingguan sederhana di mana kegiatan pilihan cenderung sama setiap hari, dengan sedikit penyesuaian. Format ini terlihat jauh berbeda dari contoh RPP pembelajaran mendalam yang diedarkan oleh kementerian, yang lebih detail dan kompleks.
“Kok bisa?” tanya Akkas retoris. “RPP saya beda format, tapi setelah diidentifikasi bersama, Bapak, Ibu setuju ini adalah pembelajaran mendalam.”
Di sinilah pesan utama dari revolusi sunyi itu disampaikan. Akkas mengkritik fenomena guru yang sibuk berburu format. “Banyak sekali yang DM ke saya, ‘Pak, ada formatnya enggak? Mau dong, Pak, contohnya.’ Tapi tidak ada yang bertanya, ‘Pak, kenapa sih di RPP sekarang harus ada komponen ini?’”
Menurutnya, para guru terlalu sering terjebak pada ‘apa’ dan ‘bagaimana’ tanpa menanyakan ‘mengapa’. Mereka sibuk mengisi kolom-kolom RPP tanpa meresapi esensi di baliknya. Padahal, yang terpenting bukanlah menuntaskan kegiatan yang tertulis di RPP, melainkan memastikan anak telah mencapai level pemahaman, aplikasi, dan refleksi.
Ia menganalogikannya dengan mengendarai mobil. “Ibarat sebuah perjalanan, Anda tidak harus naik mobil dengan jenis dan fitur yang sama untuk sampai ke tujuan, selama mobilnya layak digunakan,” tegasnya. RPP, dalam metafora ini, adalah mobilnya. Formatnya bisa berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks masing-masing. Yang penting, ia memenuhi syarat minimal kebijakan dan, yang terpenting, efektif mengantarkan anak pada tujuan pembelajaran.
Pesan ini bergema kuat di tengah ribuan guru yang hadir. Ini adalah sebuah pembebasan. Sebuah izin untuk menjadi pendidik yang reflektif dan responsif, bukan sekadar administrator yang patuh pada format.
Webinar malam itu, yang juga akan dilanjutkan dengan paparan dari guru influencer Mas Fafa dan praktisi dari Finlandia, Bu Diana, menjadi lebih dari sekadar sesi berbagi. Ia menjadi sebuah manifesto. Manifesto bahwa pembelajaran sejati di tingkat PAUD tidak lahir dari dokumen yang rapi, melainkan dari kepekaan guru membaca minat anak, keberanian mencoba, dan kerelaan untuk belajar bersama mereka, bahkan jika itu dimulai dari seutas benang dan selembar layang-layang.***
0Komentar