TpM8TpY5GSM5BSA5TpzoGUYlTi==

Slider

Optimalisasi Pendidikan Nasional: Menyelami Pembelajaran Mendalam ala Mendikdasmen Prof. Dr. Abdul Mu'ti

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed. saat kuliah umum di Universitas Negeri Malang, Kamis, 13 Februari 2025. (vokasi.kemendikdasmen.go.id)
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed. saat kuliah umum di Universitas Negeri Malang, Kamis, 13 Februari 2025. (vokasi.kemendikdasmen.go.id)


PAMONG.ID | Kanal Pendidik Indonesia - Kamis, 13 Februari 2025, menjadi hari penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Universitas Negeri Malang (UM) menyelenggarakan kuliah umum dengan kehadiran istimewa Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Republik Indonesia, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed. Dalam paparannya yang mendalam, Prof. Mu'ti mengusung gagasan krusial tentang "Pendekatan Pembelajaran Mendalam dalam Transformasi Pendidikan." Kuliah umum ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah refleksi mendalam mengenai arah pendidikan nasional di tengah tuntutan zaman yang kian kompleks.


Pembukaan acara oleh Rektor Universitas Negeri Malang, Prof. Hariyono, mengisyaratkan bobot materi yang akan disampaikan. Prof. Mu'ti, dengan gayanya yang khas, menyampaikan terima kasih dan merasa terhormat dapat berbagi pemikiran di UM, sebuah institusi yang diakuinya telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam memajukan pendidikan Indonesia. Ia juga secara ringan menyentil perannya yang seakan "ditugaskan" oleh Prof. Waras, salah seorang guru besar UM yang juga turut hadir dan disebut sebagai penyusun naskah akademik terkait deep learning.


Sejarah dan Esensi "Deep Learning": Lebih dari Sekadar AI


Prof. Mu'ti memulai pemaparannya dengan meluruskan persepsi umum tentang "Deep Learning." Ia menegaskan bahwa konsep ini sesungguhnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Istilah "deep approach" dalam pembelajaran telah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an, khususnya di negara-negara Skandinavia, dengan tokoh-tokoh seperti Marton dan Saljo sebagai pelopornya. Gagasan ini kemudian semakin berkembang pada era 1980-an dan 1990-an, diresonansi oleh kelompok kognitivis yang banyak mengangkat tema serupa dalam pendidikan.


Secara filosofis, akar deep learning dapat ditarik pada aliran konstruktivis dan information processing theory. Dalam konteks information processing, deep learning berkaitan erat dengan "deep level processing of information." Prof. Mu'ti menyoroti kesalahpahaman umum yang sering mengaitkan deep learning secara eksklusif dengan artificial intelligence (AI). Meskipun AI memang berbasis pada deep processing dan penyimpanan data yang besar, esensi deep learning dalam pendidikan lebih jauh dari sekadar aspek teknis tersebut.


Pada intinya, deep learning adalah proses di mana individu secara aktif "membangun pengetahuan" (construct knowledge). Konsep ini mengacu pada bagaimana kedalaman dan kualitas proses dalam menangkap, menyimpan, dan menggunakan informasi akan sangat menentukan kualitas belajar dan ilmu yang dihasilkan. Ini bukan sekadar penyerapan informasi pasif, melainkan sebuah proses aktif yang melibatkan pemahaman, analisis, dan sintesis.


Otak, Perhatian, dan Transformasi Pengetahuan: Pintu Gerbang Pembelajaran Mendalam


Prof. Mu'ti lebih lanjut menjelaskan bagaimana pemahaman manusia tentang otak menjadi landasan penting bagi deep learning. Merujuk pada pandangan konstruktivis, fungsi otak dalam belajar hampir sama dengan cara kerja komputer: menangkap, mengolah, dan menggunakan informasi. Namun, yang membedakan adalah keterlibatan penuh dari indra dan proses mental.


"Ketika orang itu melihat, sesungguhnya bukan physical process yang terjadi, tetapi melihat itu mesti melibatkan otak," terang Prof. Mu'ti. Ia mengutip ayat Al-Qur'an tentang "mata yang tidak melihat" karena tidak menggunakan perhatian dan pemikiran. Inilah titik awal deep processing: perhatian (attention). Perhatian adalah sumber daya mental yang dapat kita atur. Jika perhatian terlibat, maka otak, indra, pengalaman, dan pengetahuan sebelumnya turut serta dalam proses belajar.


Ini sejalan dengan konsep Quantum Learning dan Quantum Teaching, di mana saat kita mendengar atau melihat sesuatu, otak tidak berhenti bekerja. Ada proses di mana informasi baru dihubungkan dengan apa yang sudah diketahui sebelumnya. Di sinilah terjadi proses yang melibatkan pengalaman, pengetahuan, dan rasa ingin tahu yang lebih dalam.


Yang terpenting, deep learning mengedepankan transformasi pengetahuan, bukan sekadar transfer. Belajar bukan lagi proses "transfer of knowledge, skill, and values" secara pasif, yang oleh Prof. Mu'ti disebut sebagai surface learning (pembelajaran permukaan). Surface learning membuat siswa hanya tahu "apa yang mereka tahu tentang sesuatu" tetapi tidak memahami "mengapa" atau "bagaimana" menggunakannya, sehingga kehilangan makna. Deep learning justru berfokus pada menemukan makna (finding meaning) dari apa yang dipelajari, memunculkan kegembiraan dalam belajar, dan mencapai insight atau pencerahan.


Humanisasi dalam Pendidikan: Mengapa Setiap Individu Unik?


Aspek penting kedua dari deep learning yang disorot Prof. Mu'ti adalah bagaimana pembelajaran harus menjadi proses yang memuliakan manusia. Mengambil inspirasi dari teori humanisme, ia menegaskan bahwa setiap manusia adalah individu yang unik, dengan potensi kemanusiaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran harus menganut prinsip diferensiasi.


"Manusia punya cara belajar yang berbeda, bahkan cara berpikirnya pun juga berbeda," ujarnya. Ia menyayangkan bahwa terkadang gagasan Merdeka Belajar, meskipun baik, belum sepenuhnya dimulai dari konstruksi teori tentang mengapa manusia harus dimuliakan dalam pendidikan. Memaksakan target yang seragam, atau bahkan cara belajar yang homogen, berisiko menghambat potensi alami siswa. Ia bahkan mencontohkan bagaimana orang tidak terbiasa menulis dari kanan ke kiri, atau membaca dari tengah ke atas, menunjukkan betapa kebiasaan dan latar belakang mempengaruhi cara otak memproses informasi.


Intinya, humanisasi berarti memberi kebebasan dan menghargai keunikan setiap individu dalam proses belajar. Guru tidak boleh menghentikan pertanyaan spontan siswa, karena itu memutus proses berpikir mereka. Setiap murid harus dilihat sebagai individu yang memiliki potensi dan cara belajarnya sendiri, dan itulah yang harus diakomodasi dalam proses pendidikan.


Dari Pengetahuan Deklaratif Menuju Prosedural: Mengapa "How" Itu Penting


Prof. Mu'ti kemudian mengkritisi model pembelajaran yang masih dominan saat ini, yaitu surface learning yang berorientasi pada pengetahuan deklaratif (declarative knowledge). Pengetahuan deklaratif adalah fakta-fakta yang seringkali terpisah satu sama lain, sehingga siswa tidak menemukan makna dari apa yang mereka pelajari. "Kalau orang bertanya ibu kota Jawa Timur Surabaya, itu kan fakta. Tapi untuk apa dia mengerti bahwa Jawa Timur itu ibu kotanya Surabaya, itu nanti bisa menjadi masalah kalau dia kemudian tidak menemukan makna di balik dia mengerti mengenai ibu kota Jawa Timur adalah Surabaya," jelasnya.


Konsekuensi dari surface learning adalah reproductive learning, di mana siswa hanya mereproduksi apa yang diajarkan tanpa memahami maknanya, hanya demi menjawab soal ujian. Ini mendorong budaya menghafal tanpa tahu mengapa harus menghafal.


Dalam deep learning, penekanan bergeser dari pengetahuan deklaratif ke pengetahuan prosedural (procedural knowledge) atau pengetahuan tentang "bagaimana" (how). Pengetahuan ini dibangun dari fakta-fakta yang bermakna. Sebagai contoh, mengetahui nama-nama kota di Jawa Timur menjadi bermakna ketika dihubungkan dengan bagaimana cara pergi dari Malang ke Surabaya.


Proses ini melibatkan koneksi antar-informasi, mirip dengan konsep mind map dari Tony Buzan atau skimata dalam psikologi, yang menggambarkan bagaimana pengetahuan di otak saling terhubung membentuk jejaring. Deep learning terjadi ketika belajar bukan sekadar akumulasi pengetahuan, tetapi menemukan makna dan menciptakan sesuatu yang baru dari apa yang dipelajari.


Tiga Pilar "Deep Learning": Mindful, Meaningful, dan Joyful


Prof. Mu'ti memperkenalkan tiga pilar utama dalam deep learning yang disepakati bersama Prof. Waras: Mindful, Meaningful, dan Joyful.


Mindful: Ini memiliki tiga makna. Pertama, belajar berlangsung dengan penuh kesadaran dan keterlibatan. Dimulai dengan perhatian, semua proses mental harus terlibat. Kedua, penghormatan (respect) terhadap siswa. "Tidak boleh ada murid yang kehadirannya di kelas itu tidak kita pernah ketahui sama sekali atau kita abaikan sama sekali," tegasnya. Guru harus memberikan perhatian penuh, tidak melukai perasaan siswa, dan menghargai pendapat mereka, bahkan jika itu belum sepenuhnya benar. Ketiga, proses reflektif atau metakognisi, di mana siswa tahu mengapa mereka belajar dan bagaimana cara mereka mempelajari sesuatu. Ini berarti guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membimbing siswa tentang cara belajar yang efektif, sesuai dengan gaya belajar masing-masing. Ini sejalan dengan Contextual Teaching and Learning (CTL), di mana guru mengeksplorasi pengetahuan awal siswa dan membangun pembelajaran dari sana.


Meaningful: Pembelajaran harus bermanfaat dan siswa harus menemukan makna dari apa yang mereka pelajari. Prof. Mu'ti mencontohkan bagaimana belajar tata bahasa seperti "to be" menjadi bermakna ketika siswa didorong untuk menggunakannya dalam berbagai konteks dan contoh. Demikian pula, belajar rumus matematika seperti luas segitiga menjadi bermakna jika dikaitkan dengan aplikasi nyata dalam kehidupan. Makna di sini bukan hanya tentang arti, tetapi juga manfaat dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat dikembangkan.


Joyful: Ketika mindful dan meaningful berjalan, pembelajaran akan menjadi menyenangkan (joyful). Prof. Mu'ti sengaja tidak menggunakan kata "fun" karena seringkali disalahartikan sebagai "funny" atau melucu yang kadang justru tidak menyenangkan atau bahkan body shaming. Kesenangan dalam deep learning ditemukan ketika siswa merasa dihargai, mampu melakukan sesuatu sendiri, menemukan hal baru, dan mendapatkan makna dari apa yang dipelajari. Ini melampaui achievement motivation learning yang hanya berorientasi pada kelulusan dan nilai semata. Deep learning mendorong kemandirian siswa (learner self-direction) dan evaluasi berbasis Self-Observed Learning Outcome (SOLO), di mana guru membimbing siswa untuk menemukan sendiri kesalahan dan solusinya, bukan langsung memberikan jawaban.


Kurikulum yang Esensial dan Nilai-Nilai dalam Setiap Pelajaran


Bagian terakhir dari pemaparan Prof. Mu'ti menyentuh reformasi kurikulum. Ia menekankan bahwa materi pelajaran tidak perlu terlalu banyak, melainkan harus fokus pada yang paling esensial (most essential). Materi yang esensial adalah yang bermakna dan dapat ditransformasikan dalam berbagai konteks. "Banyak yang mengkritik muatan materi pelajaran kita itu meyek-meyek, overload," ungkapnya, mengkritisi konten seperti Konferensi Meja Bundar di kelas 5 SD tanpa penjelasan makna di baliknya.


Ia mencontohkan bagaimana kisah sejarah seperti Kerajaan Singasari dan Keris Empu Gandring, jika hanya diajarkan sebagai cerita bunuh-membunuh, akan membuat siswa salah menangkap makna sejarah bangsa. Oleh karena itu, nilai (value) harus melekat pada semua mata pelajaran, tidak hanya agama. "Pendidikan nilai itu tidak selalu dalam pelajaran agama. Saya berikan contoh dalam pelajaran olahraga sekalipun itu juga harus ada nilainya di situ," ujarnya.


Prof. Mu'ti memberikan ilustrasi menarik tentang guru matematika yang meminta siswa membuat garis lebih pendek dari garis 100 cm. Siswa yang memotong garis tersebut hanya berpikir secara surface, sedangkan siswa yang cerdas akan membuat garis baru yang lebih panjang, sehingga garis 100 cm secara relatif menjadi lebih pendek. "Itulah logika matematika, itulah menemukan meaning," katanya. Ini mengajarkan pentingnya berpikir out-of-the-box dan menemukan solusi inovatif.


Menuju Pendidikan yang Memuliakan dan Mencerahkan


Pemaparan Prof. Dr. Abdul Mu'ti di Universitas Negeri Malang adalah panggilan untuk melakukan transformasi fundamental dalam pendidikan nasional. "Deep learning" bukan sekadar teori baru, melainkan sebuah pendekatan holistik yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran, menghargai keunikan mereka, dan membimbing mereka menemukan makna mendalam dalam setiap pengetahuan.


Dengan memfokuskan pada pemahaman konseptual, pengembangan keterampilan prosedural, dan penanaman nilai-nilai, pendidikan diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki karakter kuat, mandiri, dan mampu berkontribusi secara bermakna bagi bangsa. Transformasi ini memerlukan komitmen bersama dari semua pihak, mulai dari pembuat kebijakan, institusi pendidikan, hingga para pendidik di garis depan. Ini adalah langkah menuju pendidikan yang tidak hanya sekadar mengisi tempayan, tetapi menyalakan obor pemikiran dan pencerahan bagi masa depan Indonesia.***

0Komentar

Special Ads
© Copyright - pamong.id
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.