TpM8TpY5GSM5BSA5TpzoGUYlTi==

Slider

Menguasai Teori Belajar Behavioristik: Panduan Lengkap dari Pavlov, Thorndike, hingga Skinner untuk Pendidikan

Pahami Teori Belajar Behavioristik secara mendalam, dari konsep dasar S-R (Stimulus-Respons) hingga aplikasinya. Pelajari Classical & Operant Conditioning, dan Connectionism.


Prolog


Teori belajar behavioristik (Behaviorism) merupakan salah satu landasan fundamental dalam psikologi pendidikan. Teori ini didominasi dalam bidang psikologi pembelajaran selama paruh pertama abad ke-20, dan bahkan hingga kini masih menjadi pusat aplikasi dalam manajemen kelas, disiplin, motivasi, dan model instruksional. Behaviorisme berfokus pada studi perilaku yang dapat diamati dan diukur secara langsung. Inti dari teori ini adalah keyakinan bahwa perilaku dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan, di mana hasil belajar (perubahan perilaku) disebabkan oleh faktor stimulus yang menimbulkan respons, bukan kemampuan internal seperti insight.


Artikel komprehensif ini akan mengulas pandangan behavioristik tentang belajar, prinsip-prinsip utamanya, serta kontribusi teori-teori penting seperti Classical Conditioning, Koneksionisme, Operant Conditioning, dan Modeling dalam membentuk pemahaman kita tentang bagaimana manusia belajar.


Pembahasan


1. Pandangan Behavioristik tentang Belajar


Behavioristik mendefinisikan belajar sebagai proses di mana suatu organisme mengubah perilakunya sebagai hasil dari pengalaman. Belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen pada individu yang disebabkan oleh praktik atau pengalaman. Perubahan perilaku yang dihasilkan dari belajar bersifat relatif permanen, artinya dapat bertahan dalam waktu yang lama.


Behaviorisme berpendapat bahwa proses belajar harus dijelaskan melalui peristiwa lingkungan, yaitu hubungan antara stimulus (S) dan respons (R). Behavioris cenderung tidak memasukkan proses mental yang tidak dapat diamati untuk menjelaskan akuisisi, pemeliharaan, dan generalisasi perilaku.


Perubahan perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku yang tampak (overt behavior), seperti menulis atau berbicara, atau perilaku yang tidak tampak (innert behavior), seperti berpikir atau bernalar. Dalam pandangan behavioristik, agar aktivitas belajar mencapai hasil optimal, stimulus harus dirancang secara spesifik dan menarik sehingga mudah direspons oleh siswa.


2. Prinsip-prinsip Belajar


Prinsip-prinsip behavioristik didasarkan pada gagasan bahwa perilaku akan berubah sesuai dengan konsekuensi yang diperolehnya. Konsekuensi yang menyenangkan disebut penguatan (reinforcers), sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman (punishers).


Penguatan (Reinforcement)


Penguatan adalah unsur penting yang berfungsi memperkuat perilaku.


1. Penguatan Positif (Positive Reinforcement): Sesuatu yang jika diperoleh akan meningkatkan probabilitas respons atau perilaku. Contohnya, pujian guru ("bagus") setelah siswa merespons pertanyaan.


2. Penguatan Negatif (Negative Reinforcement): Menguatkan perilaku dengan menghilangkan atau mencegah konsekuensi yang tidak menyenangkan.


Hukuman (Punishment)


Hukuman bertujuan memperlemah atau meniadakan perilaku tertentu. Namun, dalam konteks pembelajaran, hadiah (reward) seringkali dianggap lebih efektif daripada hukuman dalam mengubah perilaku. Skinner (1958) berpendapat bahwa hukuman hanya melatih seseorang tentang apa yang tidak boleh dilakukan, dan tidak melatih apa yang harus dilakukan.


Kesegeraan Pemberian Konsekuensi (Immediacy of Consequences)


Penguatan yang diberikan segera setelah perilaku muncul akan menimbulkan efek yang jauh lebih baik terhadap perilaku, dibandingkan dengan penguatan yang tertunda. Pemberian umpan balik yang cepat juga dapat meningkatkan motivasi.


Jadwal Pemberian Penguatan (Schedules of Reinforcement)


Penguatan dapat diberikan secara terus-menerus (continuous) atau berselang (intermittent). Jadwal penguatan yang berbeda memiliki efek yang berbeda terhadap pemeliharaan perilaku.


Peran Anteseden (Antecedents)


Stimulus yang mendahului perilaku (anteseden perilaku) juga memegang peranan penting. Anteseden, seperti petunjuk, memberikan informasi kepada individu mengenai perilaku apa yang akan menerima hadiah dan perilaku apa yang akan menerima hukuman.


3. Teori Belajar Classical Conditioning


Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849–1936), seorang ahli fisiologi Rusia. Classical Conditioning menjelaskan bagaimana stimulus dapat dikondisikan untuk menimbulkan respons melalui pemasangan dengan stimulus lain. Dalam teori ini, individu tidak perlu melakukan aktivitas apa pun untuk mendapatkan hadiah, karena mereka hanya menunggu stimulus disajikan.


Eksperimen klasik Pavlov menggunakan anjing menunjukkan proses ini, yang dikenal sebagai Respondent Conditioning. Proses ini melibatkan konsep utama:


• Stimulus Tak Terkondisi (US): Stimulus yang secara alami menimbulkan respons (misalnya, daging).


• Respons Tak Terkondisi (UR): Respons alami terhadap US (misalnya, air liur yang keluar karena melihat daging).


• Stimulus Terkondisi (CS): Stimulus netral yang, setelah dipasangkan dengan US, mulai menimbulkan respons (misalnya, bel).


• Respons Terkondisi (CR): Respons yang dipelajari terhadap CS (misalnya, air liur yang keluar karena mendengar bel).


Pavlov menyimpulkan bahwa pengkondisian selektif terjadi berdasarkan penguatan selektif, yang memungkinkan diskriminasi stimulus.


4. Teori Belajar Koneksionisme


Teori Koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike, yang teorinya juga melihat belajar sebagai proses pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons. Thorndike berfokus pada aspek fungsional perilaku yang berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan.


Belajar terjadi melalui coba-coba (trial and error). Dari eksperimennya dengan kucing di dalam kotak teka-teki, Thorndike merumuskan hukum-hukum belajar utama:


1. Hukum Efek (Law of Effect): Respons terhadap stimulus akan diperkuat jika diikuti oleh konsekuensi yang memuaskan (satisfying). Sebaliknya, konsekuensi yang menjengkelkan (annoying) akan memperlemah ikatan S-R, meskipun aspek pelemahan ini kemudian kurang ditekankan.


2. Hukum Latihan (Law of Exercise): Koneksi S-R diperkuat melalui praktik (Law of Use) dan melemah karena kurangnya praktik (Law of Disuse).


3. Hukum Kesiapan (Law of Readiness): Mengacu pada kesiapan atau kecenderungan individu untuk berperilaku tertentu.


Thorndike percaya bahwa kemajuan dalam belajar terjadi sedikit demi sedikit, bukan dalam bentuk lompatan (insight).


5. Teori Belajar Operant Conditioning


Teori ini dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner (1904–1990). Skinner berfokus pada hubungan antara respons atau perilaku dan konsekuensi yang mengikutinya. Ini dikenal sebagai Operant Conditioning (pengkondisian Tipe R, menekankan Respons).


Perilaku Operan (Operant Behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh konsekuensinya, baik melalui penguatan maupun hukuman. Dalam eksperimen Skinner Box, tikus belajar melakukan respons (menekan tuas) untuk mendapatkan penguatan (makanan).


Perbedaan mendasar antara Operant Conditioning dengan Classical Conditioning adalah:


• Classical Conditioning (Tipe S) melibatkan individu secara pasif, tidak perlu merespons untuk memperoleh hadiah.


• Operant Conditioning (Tipe R) mengharuskan organisme membuat respons atau aktivitas untuk memperoleh hadiah (penguatan).


Penguatan (positif atau negatif) yang mengikuti suatu tindakan berfungsi untuk meningkatkan probabilitas tindakan tersebut terulang kembali. Contoh aplikasinya adalah nilai yang baik (penguatan positif) yang mendorong siswa untuk belajar lebih giat.


6. Modeling dan Observational Learning


Meskipun teori ini secara historis berada di bawah naungan Social Cognitive Theory (Teori Kognitif Sosial), teori ini berakar dari behaviorisme dan diakui kontribusinya dalam memahami pembelajaran manusia. Albert Bandura adalah tokoh kunci dalam teori ini.


Bandura mengkritik Operant Conditioning karena mengabaikan pentingnya modeling (meniru perilaku orang lain) dan vicarious learning (belajar dari konsekuensi yang dialami orang lain). Dalam Modeling dan Observational Learning, individu belajar secara langsung dari model, bukan hanya dari konsekuensi perilaku mereka sendiri.


Empat tahap utama dalam belajar melalui pengamatan atau modeling adalah:


1. Perhatian (Attention): Individu memperhatikan model yang menarik, populer, atau berhasil.


2. Retensi (Retention): Menyimpan perilaku model dalam memori, seringkali melalui praktik mental.


3. Reproduksi (Reproduction): Menyesuaikan diri dengan perilaku model dan mencoba menirukannya.


4. Motivasional (Motivational): Individu terdorong untuk meniru karena percaya akan mendapatkan penguatan (misalnya, pujian guru).


Belajar Vicarious (Vicarious Learning) terjadi ketika individu mengamati orang lain menerima penguatan atau hukuman, dan ini memengaruhi perilaku mereka sendiri. Selain itu, teori ini memperkenalkan konsep Pengaturan Diri (Self-Regulation), di mana individu mengamati dan mengevaluasi perilakunya sendiri berdasarkan standar yang mereka tetapkan, dan kemudian melakukan penguatan atau hukuman diri sendiri.


Epilog


Teori belajar behavioristik memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami perubahan perilaku yang didorong oleh lingkungan dan konsekuensi. Kontribusi dari Pavlov, Thorndike, dan Skinner sangat penting dalam menjelaskan bagaimana kebiasaan, disiplin, dan motivasi di kelas dapat dipelihara dan ditingkatkan melalui penerapan penguatan yang sistematis. Meskipun behaviorisme terbatas dalam menjelaskan bentuk pembelajaran kompleks atau tingkat tinggi (misalnya, kreativitas atau kognisi yang mendalam), prinsip-prinsipnya, seperti penggunaan penguatan, tetap menjadi alat praktis dan efektif bagi para pendidik untuk menciptakan lingkungan belajar yang responsif.


Bibliografi


Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall. 

Gagné, R. M. (1977). The conditions of learning (3rd ed.). Holt, Rinehart & Winston. 

Holland, J. G., & Skinner, B. F. (1961). The analysis of behavior. McGraw-Hill. 

Huitt, W., & Hummel, J. (1997). An introduction to classical (respondent) conditioning. Educational Psychology Interactive. 

Pavlov, I. P. (1923). Preface to the first Russian edition. In I. P. Pavlov, Lectures on conditioned reflexes. Volume one (1928, W. Horsley Gantt, Trans.). K. L. Rikker. 

Slavin, R. E. (1994). Educational psychology: Theory and practice (4th ed.). Allyn & Bacon. 

Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: Theory and practice (8th ed.). Pearson Education. 

Skinner, B. F. (1958). Teaching machines. Science, 128, 969–977. 

Thorndike, E. L. (1906). The principles of teaching based on psychology. A. G. Seiler. 

Thorndike, E. L., & Gates, A. I. (1929). Elementary principles of education. Macmillan. 

Zhou, M., & Brown, D. (Eds.). (2017). Educational learning theories. Creative Commons. [Sumber tidak terlampir penulisnya]. (n.d.). Microlearning Mata Kuliah Psikologi Pendidikan.. 

Schunk, D. H. (2012). Learning theories: An educational perspective (6th ed.). Pearson Education.

0Komentar

Special Ads
© Copyright - pamong.id
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.