Kajian mendalam perkembangan psikososial (Erikson) dan moral (Piaget, Kohlberg), serta faktor keluarga, emosi, dan sosial yang memengaruhinya.
![]() |
Ilustrasi perkembangan sosial. (Image by congerdesign from Pixabay) |
Prolog
Psikologi pendidikan adalah kajian mengenai manusia belajar dalam latar pendidikan, efektivitas intervensi pendidikan, psikologi pembelajaran, dan psikologi sosial sekolah sebagai organisasi. Dalam ranah ini, perkembangan manusia dikaji sebagai proses yang berkesinambungan dan progresif, berlangsung dari lahir hingga akhir hayat. Perkembangan psikologis sendiri merupakan proses dinamis.
Artikel komprehensif ini bertujuan untuk menjelaskan hakikat "Perkembangan Psikososial dan Moral," yang merupakan aspek fundamental dalam psikologi perkembangan. Pemahaman terhadap perkembangan pribadi dan sosial—yang mencakup konsep diri dan cara berinteraksi dengan dunia—sangat penting bagi pendidik sebagai dasar untuk memotivasi, mengajar, dan berinteraksi dengan peserta didik. Selanjutnya, perkembangan moral akan diulas melalui kerangka pikir dari tokoh-tokoh utama dalam bidang ini.
Pembahasan
1. Perkembangan Personal dan Sosial
Seorang pakar psikologi yang mengembangkan teori perkembangan personal dan sosial secara ekstensif adalah Erik Erikson, yang teorinya dikenal sebagai teori psikososial. Teori Erikson menjelaskan bahwa individu akan melalui delapan tahap psikososial sepanjang rentang kehidupannya, dengan setiap tahap memuat isu-isu kritis atau krisis yang harus dipecahkan. Krisis-krisis ini tidak bersifat katastropik, melainkan merupakan titik balik yang mengandung kerawanan sekaligus penguatan potensi. Semakin berhasil seseorang mengatasi krisisnya, semakin sehat pula psikologi individu tersebut.
Beberapa tahap perkembangan psikososial Erikson meliputi:
1. Kepercayaan versus Ketidakpercayaan (Trust vs. Mistrust): Tahap pertama ini membutuhkan pengasuhan yang hangat dan bersahabat, menghasilkan rasa nyaman dan berkurangnya ketakutan. Ketidakpercayaan akan tumbuh jika bayi diperlakukan secara negatif atau diabaikan.
2. Otonomi versus Malu dan Ragu (Autonomy vs. Shame and Doubt): Terjadi pada masa bayi akhir dan masa belajar berjalan. Setelah memercayai pengasuhnya, bayi mulai menemukan independensi dan kehendaknya sendiri. Pembatasan atau hukuman yang terlalu keras akan mengembangkan rasa malu dan ragu.
3. Inisiatif versus Rasa Bersalah (Initiative vs. Guilt): Terjadi sekitar usia 3-5 tahun (masa kanak-kanak awal). Anak mulai merasakan dunia sosial yang lebih luas dan menghadapi lebih banyak tantangan.
4. Upaya versus Inferioritas (Industry vs. Inferiority).
5. Identitas versus Kebingungan (Identity vs. Role Confusion): Tugas pada masa remaja adalah mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitasnya; kegagalan eksplorasi dapat menyebabkan kebingungan identitas. Krisis identitas yang belum terpecahkan pada masa remaja mungkin harus dipecahkan kembali pada tahap perkembangan dewasa.
6. Intimasi versus Isolasi (Intimacy vs. Isolation): Terjadi pada masa dewasa awal. Tugas perkembangannya adalah membentuk hubungan yang positif dengan orang lain. Kegagalan dapat menyebabkan isolasi sosial.
7. Generativitas versus Stagnasi (Generativity vs. Stagnation): Dialami pada masa dewasa pertengahan (sekitar usia 40-50 tahunan). Generativitas berarti mentransmisikan sesuatu yang positif kepada generasi selanjutnya, sedangkan stagnasi adalah perasaan tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu generasi muda.
8. Integritas versus Putus Asa (Integrity vs. Despair): Berhubungan dengan masa dewasa akhir (sekitar usia 60-an sampai meninggal). Individu merenungkan hidupnya; evaluasi retrospektif yang positif menghasilkan rasa integritas, sebaliknya evaluasi negatif menghasilkan putus asa.
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh tiga faktor utama: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga
Hubungan personal di lingkungan keluarga, seperti hubungan ayah dengan ibu, anak dengan saudara, dan anak dengan orang tua, memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan sosial. Posisi anak dalam keluarga (sulung, tengah, bungsu, atau tunggal) juga sangat berpengaruh, tidak hanya pada pengalaman sosial awal tetapi juga pada sikap sosial dan pola perilaku.
Sekolah
Ketika anak memasuki sekolah, guru mulai memberikan pengaruh terhadap sosialisasi mereka. Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya biasanya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh guru dan orang tua. Seiring bertambahnya usia, jika nasihat dari orang tua dan teman sebaya berbeda, anak cenderung lebih terpengaruh oleh teman sebaya.
Masyarakat
Saat anak mulai sekolah, mereka memasuki "usia geng" (usia yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat). Kehidupan kelompok (gang) memiliki dampak ganda: di satu sisi, ia membantu anak menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat, tetapi di sisi lain, ia dapat menopang perkembangan perilaku sosial negatif tertentu, seperti kesombongan, kenakalan, atau perilaku yang meresahkan orang tua, guru, dan masyarakat.
3. Perkembangan Perasaan dan Emosi
Perasaan dan emosi adalah bagian integral dari seluruh aspek psikis manusia. Keduanya memengaruhi fungsi psikis lainnya, seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kemauan. Pengalaman positif akan dialami jika disertai emosi positif, demikian pula sebaliknya.
Pengertian Perasaan dan Emosi
Perasaan didefinisikan sebagai pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh perangsang eksternal maupun berbagai keadaan jasmani. Menurut Max Scheber (dalam Efendi, 1990), perasaan dikelompokkan menjadi empat: perasaan penginderaan (berhubungan dengan indra, mis. rasa panas), perasaan vital (berhubungan dengan keadaan tubuh, mis. rasa lelah), perasaan psikis (menyebabkan perubahan psikis, mis. senang/sedih), dan perasaan pribadi (dialami secara pribadi, mis. perasaan terasing).
Emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan terangsang dari organisme yang mencakup pengalaman yang disadari yang bersifat mendalam, dan memungkinkan terjadinya perubahan perilaku. Emosi adalah respons terhadap perangsang yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis, disertai perasaan kuat, dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi bergantung pada faktor pematangan (maturation) dan faktor belajar, bukan hanya salah satunya.
Faktor-faktor yang memengaruhi dominansi emosi meliputi:
• Kondisi Kesehatan: Kesehatan yang baik mendorong emosi menyenangkan menjadi dominan [145, 149a].
• Suasana Rumah: Lingkungan rumah yang bahagia akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak untuk menjadi bahagia.
• Cara Mendidik Anak: Cara mendidik otoriter (yang menggunakan hukuman ketat) akan mendorong dominasi emosi yang tidak menyenangkan. Sementara cara demokratis dan permisif akan menciptakan suasana santai yang mendukung ekspresi emosi.
• Hubungan dengan Keluarga dan Teman Sebaya: Hubungan yang tidak rukun dengan anggota keluarga akan menimbulkan kemarahan dan kecemburuan. Diterima dengan baik oleh kelompok sebaya akan membuat emosi menyenangkan menjadi dominan.
• Perlindungan Berlebihan (Overprotective): Dapat menimbulkan rasa takut yang dominan pada anak.
• Aspirasi Orang Tua yang Tidak Realistis: Dapat menimbulkan rasa canggung, malu, dan bersalah pada anak.
• Bimbingan: Bimbingan yang menanamkan pengertian bahwa frustrasi diperlukan sesekali dapat mencegah kemarahan dan kebencian menjadi emosi yang dominan.
Faktor-faktor lain yang menunjang timbulnya emosionalitas yang menguat (meninggi) adalah kondisi fisik (misalnya kelelahan atau perubahan kelenjar saat puber), kondisi psikologis (tingkat intelektual yang buruk atau kegagalan mencapai aspirasi yang menimbulkan kecemasan), dan kondisi lingkungan (ketegangan terus-menerus atau disiplin otoriter di sekolah).
4. Perkembangan Moral
Perkembangan moral sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif dan personal anak.
Pandangan Jean Piaget
Piaget mengkaji perkembangan moral dengan mengamati anak-anak bermain kelereng dan mengajukan pertanyaan tentang aturan, pencurian, hukuman, dan keadilan. Piaget membagi perkembangan moral menjadi dua tahap utama:
1. Moralitas Heteronomous (Moral Realism atau Morality of Constraint): Tahap ini, yang juga disebut realisme moral, terjadi sekitar usia 6 tahun ke bawah. Pada periode ini, anak menjadi subjek pada aturan yang ditetapkan oleh orang lain (orang dewasa/orang tua). Pelanggaran peraturan diyakini akan menghasilkan hukuman secara otomatis. Penalaran moral ini menciptakan keyakinan bahwa aturan moral bersifat tetap dan tidak berubah.
2. Moralitas Otonomous (Rational Morality): Moralitas ini muncul karena dunia sosial anak semakin meluas, khususnya melalui interaksi dan kerja sama dengan teman sebaya. Aturan dipandang dapat diubah oleh kesepakatan bersama untuk menjadikan diri sendiri lebih baik. Hukuman tidak lagi otomatis, tetapi dipertimbangkan berdasarkan tujuan perilaku pelanggar serta situasi dan kondisi yang ada. Perubahan dari moralitas heteronomous ke otonomous terjadi di sekitar usia 6 tahun.
Pandangan Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg memperluas pandangan Piaget, menyusun teori perkembangan moral ke dalam tiga level utama, yang masing-masing terdiri dari dua tahap (total enam tahap). Konsep kunci dalam teori Kohlberg adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang dikontrol secara internal.
1. Penalaran Prakonvensional (Preconventional Reasoning): Level terendah. Anak tidak menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral; penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan ganjaran eksternal. Pada Tahap 1 dan 2, anak mematuhi aturan yang ditetapkan oleh orang lain sambil mempertahankan kepentingan diri sendiri.
2. Penalaran Konvensional (Conventional Reasoning): Tahap menengah. Internalisasi masih setengah-setengah. Individu patuh pada standar yang ditetapkan oleh orang lain (orang tua atau aturan sosial). Pada Tahap 3 dan 4, individu mengadopsi aturan, percaya pada hukum dan ketertiban, dan mencari persetujuan orang lain.
3. Penalaran Pascakonvensional (Postconventional Reasoning): Level tertinggi. Moralitas sudah sepenuhnya diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar eksternal. Individu menentukan nilainya sendiri berdasarkan prinsip etika abstrak yang mereka pilih untuk diikuti.
Epilog
Perkembangan psikososial dan moral adalah dua aspek perkembangan yang saling terjalin, dipandu oleh kerangka kerja yang komprehensif dari para ahli seperti Erikson, Piaget, dan Kohlberg. Sementara Erikson menggarisbawahi pentingnya resolusi krisis identitas melalui interaksi sosial pada setiap tahap kehidupan, Piaget dan Kohlberg menguraikan bagaimana penalaran moral berkembang, bergerak dari kepatuhan terhadap otoritas eksternal menuju prinsip-prinsip etika abstrak yang diinternalisasi. Pentingnya lingkungan, termasuk keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta dinamika emosi dan perasaan, merupakan faktor-faktor krusial yang membentuk lintasan perkembangan ini. Pemahaman mendalam ini memberikan wawasan yang tak ternilai bagi pendidik dan praktisi untuk mendukung perkembangan individu menuju kematangan psikologis yang sehat.
Bibliografi
Ashton, P., & Huitt, W. (1980). Egocentrism-sociocentrism: The dynamic interplay in moral development. In J. Magary, P. Taylor, & G. Lubin (Eds.), Piagetian theory and the helping professions (Vol. 9, pp. 293–297). Association for the Study of Piagetian Theory.
Baltes, P. B. (1987). Theoretical propositions of life-span developmental psychology: On the dynamics between growth and decline.
Efendi, M. (1990). Pendekatan psikologi dalam ilmu pendidikan. Bina Aksara.
Erikson, E. (1968). Identity, youth and crisis. Van Nostrand.
Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1984). Educational psychology (3rd ed.). Houghton Mifflin.
Hurlock, E. B. (1978). Developmental psychology: A life-span approach. McGraw-Hill.
Kohlberg, L. (1969). Stages in the development of moral thought and action. Holt, Rinehart & Winston.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1991). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Gadjah Mada University Press.
Nucci, L. P. (2009). Nice is not enough: Facilitating moral development. Merrill/Prentice Hall.
Poerbakawatja, S. (1982). Aspek-aspek psikologi pendidikan. Mutiara Sumber Widya.
Santrock, J. W. (2007). Educational psychology. McGraw-Hill Education.
Santrock, J. W. (2011). Child development (13th ed.). McGraw-Hill Education.
Siegler, R. S. (1988). The origins of scientific reasoning. Springer.
Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: Theory and practice (8th ed.). Pearson Education.
Walgito, B. (1990). Psikologi umum. Andi Offset.
0Komentar