Oleh Muhammad Izzuddin Al-Qossam, Heri Triluqman Budisantoso (Program Studi Teknologi Pendidikan, FIPP UNNES)
SEMARANG, PAMONG.ID | Kanal Pendidik Indonesia – Isu kekerasan seksual dan minimnya pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi masih menjadi persoalan serius di banyak wilayah, termasuk di pedesaan. Menghadapi realita ini, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) menggagas program edukasi bertajuk “Health Rangers”—sebuah strategi pelatihan dan coaching yang dikembangkan untuk menjawab minimnya literasi seksual sehat di kalangan remaja.
Berlokasi di Desa Suwakul, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, program ini dilaksanakan selama tiga hari dan melibatkan puluhan remaja usia 14 hingga 19 tahun. Kegiatan ini merupakan bentuk tugas akhir berbasis proyek oleh mahasiswa Program Studi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIPP UNNES, bernama Muhammad Izzuddin Al-Qossam.
“Program ini kami rancang untuk menjawab kesenjangan informasi tentang pubertas, consent, dan perlindungan diri dari kekerasan seksual di lingkungan remaja desa,” terang Izzuddin saat diwawancarai usai kegiatan refleksi pascapelatihan.
Literasi Seksualitas Masih Dianggap Tabu
Di masyarakat pedesaan seperti Suwakul, topik seputar seksualitas kerap dianggap tabu dan tidak layak diperbincangkan secara terbuka, bahkan di antara orang tua dan anak. Akibatnya, banyak remaja yang tumbuh tanpa informasi yang benar tentang perubahan tubuh, batas-batas personal, serta hak mereka atas perlindungan dari kekerasan berbasis seksual.
“Beberapa peserta bahkan belum tahu nama organ reproduksi mereka sendiri. Ada juga yang tidak tahu apa itu consent atau bagaimana cara bilang ‘tidak’ dengan tegas ketika merasa tidak nyaman,” ungkap Izzuddin.
Pendekatan Partisipatif dan Humanis
Program pelatihan ini tidak hanya berisi ceramah satu arah. Izzuddin bersama tim fasilitator menggunakan metode partisipatif, yaitu melalui diskusi kelompok, studi kasus, permainan edukatif, dan sesi coaching reflektif. Materi utama mencakup: mengenali perubahan tubuh saat pubertas, mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual, konsep “consent” atau persetujuan sadar, serta strategi perlindungan diri dan pelaporan.
Pelatihan dibuka dengan sesi pre-test untuk mengetahui pemahaman awal peserta. Setelah tiga hari intervensi edukatif, dilakukan post-test untuk mengukur peningkatan pengetahuan dan sikap. Hasilnya cukup signifikan: peserta menunjukkan peningkatan pemahaman terhadap konsep dasar seksualitas, lebih berani menyampaikan pendapat, dan memahami pentingnya batasan diri.
Suara Remaja: “Saya Berhak Menolak”
Salah satu peserta pelatihan, sebut saja A (16), mengaku baru mengetahui bahwa dirinya memiliki hak untuk menolak sentuhan atau tindakan yang membuatnya tidak nyaman, bahkan dari orang yang dikenalnya.
“Selama ini saya kira kalau yang ngajak bercanda itu teman sendiri, ya harus terima. Sekarang saya tahu, saya boleh bilang ‘tidak’ kalau merasa tidak nyaman,” ujar A.
Cerita ini menjadi refleksi penting bagaimana selama ini remaja tidak punya ruang aman untuk belajar mengenal tubuh dan hak mereka secara benar dan bebas dari stigma.
Program yang Didukung Masyarakat
Program ini mendapat dukungan penuh dari Kepala Desa Suwakul, para tokoh masyarakat, dan organisasi pemuda setempat seperti Karang Taruna atau Komunitas Pemuda. Bahkan para orang tua menyambut baik kegiatan yang diselenggarakan.
“Dengan adanya edukasi ada pelatihan ini, kami menyambut dengan baik karena melihat kondisi anak muda disini yang perlu diberikan pemahaman lebih akan isu kespro ataupun KBGS,” ungkap Ibu Sumaya salah satu masyarakat Suwakul.
Health Rangers, Agen Literasi di Desa
Peserta yang telah menyelesaikan pelatihan kemudian disebut sebagai Health Rangers, yakni agen literasi yang diharapkan dapat menjadi pelopor edukasi seksualitas sehat di komunitas mereka. Masing-masing dibekali materi cetak, celemek edukasi tubuh, serta panduan sederhana untuk mengedukasi teman sebaya.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi keberlanjutan program yang dirancang oleh Izzuddin.
Menjawab Tantangan Teknologi Pendidikan
Sebagai mahasiswa dari Program Studi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Izzuddin juga menyusun rencana pengembangan program ke arah digital. Salah satunya adalah membuat konten microlearning berbasis WhatsApp yang dapat diakses remaja secara mandiri. Dan juga pemanfaatan media sosial yang menjadi tempat untuk dapat memberikan edukasi infografis menarik, agar remaja daerah dapat terpapar informasi dengan baik dan masif.
Bagian dari Tugas Akhir Berbasis Proyek UNNES
Program ini merupakan bagian dari inovasi model tugas akhir berbasis proyek di Universitas Negeri Semarang. Mahasiswa tidak hanya dituntut menulis skripsi dalam bentuk kajian teoretis, tetapi juga dapat memilih proyek edukatif sebagai bentuk kontribusi nyata di masyarakat.
Harapan ke Depan
Program "Health Rangers" menjadi bukti bahwa pendekatan edukatif yang kontekstual, partisipatif, dan empatik dapat menjadi solusi nyata untuk isu serius seperti kekerasan seksual pada remaja. Izzuddin berharap program ini dapat menjadi inspirasi replikasi di wilayah lain, khususnya di desa-desa yang memiliki karakteristik serupa.***
0Komentar